Itsme231019

Archive for the ‘renungan’ Category

Hidup di saudi, ane sering mendapatkan hal-hal yang kontradiktif dan aneh.

Pada umumnya orang sini nyaris tidak bisa hidup teratur tanpa bantuan pembantu. Kebergantungan mereka terhadap pembantu sangat besar sekali. Bahkan dalam satu rumah, ada 3 atau 4 pembantu (bagian domestik) plus 1 atau 2 supir (bagian non-domestik).

Adalah sebuah budaya bahwa orang sini tidak akan pernah membiarkan anggota keluarganya yang berjenis perempuan terlihat wajahnya (apalagi bagian lainnya) oleh orang asing, terutama laki-laki. Pada tingkatan tertentu, bahkan ketemu pun tidak boleh sehingga harus ada sekat tebal antara kaum perempuan dan laki-laki yang tentunya non-mahram. 

Tapi ane kadang menemukan sikap yang aneh dan tidak konsisten pada orang-orang sini.

Jika memang perempuan-perempuan tidak boleh dilihat laki-laki terutama asing, kenapa tkw (pembantu) boleh dilihat oleh majikan laki-laki yang tentu saja asing (non-mahram) bagi tkw, bahkan tak jarang lebih dari melihat tkw, majikan laki-laki dengan mudah merampas hak dan dignity tkw. Busssheeet deh.

Hal aneh lainnya adalah, ketika tkw tersebut kebetulan terlihat oleh seorang supir, majikan laki-laki begitu nampak gerah, geram, dan seakan menyimpan ketakutan yang besar. Ane pikir kok majikan tersebut gak fair dan tidak konsisten banget. Kondisi ini banyak sekali menyimpan teka teki.

Para remaja dan remaji disini benar-benar dipingit dalam artian tidak boleh bahkan untuk sekadar kenalan secara normal. Walhasil, banyak diantara remaja putri yang sembunyi-sembunyi untuk bisa berkenalan dengan cowok. Restriction yang begitu menggurita dan ada disetiap sudut batok kepala orang sini, sikap jujur dan terus terang akan sulit tercipta. Sedihnya, yang tercipta adalah sikap bohong dan tidak mau menampilkan diri seadanya.

Makanya tidak heran jika banyak orang bilang gaya hidup orang saudi itu penuh ketertutupan. Hal itu bisa dilihat dari miniatur rumah orang saudi. Sangat mudah dijumpai rumah-rumah yang dibentengi tebal dan mendongak ke atas. Puih…ane pikir..jika tkw di rumah itu superwoman…mungkin dia bisa terbang untuk kabur. Tapi nyatanya, tkw hanyalah lulusan SD yang mudah dibodohi. Malang sekali.

Persoalan hukum disini, ane belum melihat supremasi hukum disini. Yang sering terjadi malah sebaliknya..siapa yang kuat..dia akan menjadi pemenang. It is like jungle. Jika benar-benar hukum ditegakkan, maka gak bakal ada lagi tkw yang gak digaji. Akan jarang lagi terdengar tkw yang hamil karena diperkosa. But..hukum ane pikir masih saja indah diatas kertas. Klise memang..tapi itulah faktanya.

Jika saya koneksikan ke situasi di Indonesia. Ane gak mau Islam di Indonesia kayak Islam di Saudi. Ane pengen Islam di Indonesia itu Islam yang mau menjadi power bagi yang powerless..dan menjadi voice bagi yang voiceless. Intinya Islam yang melindungi orang-orang tertindas.

Disaudi, banyak orang yang pake baju yang menutupi apa yang dianggap dengan “aurat”. Tapi sayang aurat sosial dibiarkan begitu saja dan sedikit orang yang care terhadapnya. Bukankah TKW yang tidak digaji setelah habis-habisan bekerja adalah aurat sosial, atau Tkw yang dipukul habis-habisan dan bahkan ada yang diperkosa. Bukankah itu aurat juga yang sifatnya sosial. Itu semua aurat sosial….Tapi siapa yang care??

Untunglah ane menjadi laki-laki sehingga punya sedikit kebebasan walaupun kebebasan itu semu belaka. Soalnya bagaimana bisa bebas, kebebasan itu pun disini sangat ditabukan bahkan diharamkan.  Jika anda perempuan dan mau pergi ke saudi….siapkanlah mental anda dan harus bersabar jika gerak gerik anda dikontrol oleh kultur yang ada disini.

Ane pikir itu saja. Ini hanya serpihan unek-unek saja dan mungkin sifatnya subjektif belaka.

Ahmad.

Yes, I have studied in Gontor. I had many experiences when i lived there. I took experiment class (kelas eksperimen) because my background school was junior high school (sekolah menengah pertama) at that moment, and that’s why i could take that class in which studyng periode just took 5 years studying : first grade, second grade, third grade and jump to fifth grade and then sixth grade. That was the system for experiment class.

For the first grade, I was placed in Darul Ma’rifat which was located in Kediri, exactly in Sumbercangkring Gurah Kediri. I think it was because In Gontor, the capacity of building was limited. So if the number of student was more than space, so Gontor would manage to distribute them to its branches. And Kediri was one of Gontor Branches.

At that time, Darul Ma’rifat Kediri was led by Ustadz Ma’ruf Chumaidi. He was so calm and famous Ustadz in that region of Kediri. Besides Arabic, he also spoke English well. It was really great.

In Darul Ma’rifat, Friday was a day off so every student had a lot of chances and choices to do things. Some of them used the time to wash their clothes which were collected during a week. If they had money, they would like to go generally to Gurah to buy something. And I think going to Gurah was a kind of refreshing the mind. for student, however, going outside school location was more difficult then their Ustadz. they had to get permission, if I am not wrong, from security division / department (bagian keamanan) and . I still remember, Kohar was the security department president whom students (a’do – members) feared. In fact, he could be funny if he interacted in informal situations.

After one year studying in Darul Ma’rifat Kediri, then i moved to Gontor in Ponorogo. Situations and discipline in Gontor were not so strange for me because i used to live with it in Kediri. But I had to confess that Darussalam Gontor had more teachers, students and of course buildings as well as options of extracurricular activities. Every building was internationally and famously named such Tunis, Aligarh, Sanggit, Palestine, al-Azhar, Rabithah etc. it seems to me that the founding father of Gontor has a broad mind and wide experiences and that’s why Darussalam Gontor was famously known as Pondok Modern (Modern Islamic School) Darussalam Gontor.

Unlike student in Traditional Pesantren (Pondok Pesantren Salafi) who wear sarong during studying in class, Students in Gontor wear pant and shirt when they go to class but not necessarily uniform.

But I think it was a kind of being modern. More than that, Gontor can exist even until now because it is inclusive in the sense that Gontor accommodates any student from any background no matter whether the student from Muhamadiyah, Nu or Other Organization. And they can live with peace and tolerance.

In Gontor, I was interested in (Arabic) calligraphy so that I then join Aklam (Asosiasi Kaligrafer Darussalam). I have to say alhamdulillah and I am grateful that by joining aklam, I can share many things about calligraphy and its style with my fellow “aklaman”. In Aklam, I also can develop my calligraphy skill. But I have to say that if we want to write calligraphy well, we have to practice continually and never give up.

In class six, when Amaliyah Tadris (training of teaching) came, I directly choose calligraphy as a material to teach in Amaliyah Tadris. Alhamdulillah, I did Amaliyah Tadris successfully without being nervous. Before my turn came, I saw some of my friends were nervous and even get sweaty due to his nervousness. How not to be nervous!! We have to teach class where many of our fellows were obliged to watch, find out and even criticize our mistake. They were standing around us!!

I think Amaliyah Tadris was great examination. It could test our mentality, down or survive!!

One of my friends told me like this “anggap aja mereka patung” which mean “just look them as if they were statue”. This advice could work out to make us brave!!

Yes I have many memories about my life in Gontor. Good and bad memory. My bad memory was about my encounter with security department. The people of this department always displays their selves as frightening people as possible. How many times I got beaten by them, sometimes with their stick and another time with their strong and easy hand to beat. They never even just smile. I heard that they ever beaten student without control until the victim got injured in his ears.

I have to be honest, when I was chosen as mudabbir (I call it “manager”) in hostel named Saudi. I was sometimes trapped to act violent against naughty member. But after that, I feel that by this way, many members follow the rule not by their pure awareness but being afraid of punishment which was usually physical. From that time I tried to be much softer yet straight (tegas). Because I believe to be straight doesn’t necessarily mean being violent. Members will respect this way.

But I guess, this kind of discipline was institutionalized, so it was regarded as something normal. In this situation, it is normal when you are beaten because you are student being caught doing wrong and when you become manager, so you will simply feel the right to beat your member whenever you find him doing wrong. So it was like the chain of beating from generation to generation.

For now, I don’t know exactly if this kind of discipline still exists or not. But personally, through my deep thinking, this kind of physical punishment is not relevant any more todays. There should be a new innovation and creativity when it came to topic about punishment. The key is that following rule should come from our awareness not from our fear.

I think there are my things that I don’t tell about my experience in Gontor. I am proud that I graduated from Gontor. It teaches me the life. I still remember Ustadz Hasan’s word. “Yang penting itu bukan hidup untuk hidup tapi bagaimana kita hidup untuk kehidupan”. This word strongly depends on how we mean it. But personally, to live for life is much deeper than our life is to live

Salam Hormat.

Berikut ini alamat blog teman-teman Alumni Gontor tahun 1999 (Blue Generaion-699) yang berhasil saya dapatkan. jika teman-teman mendapatkan alamat lain dari blog teman-teman Blue Generation, untuk mengirimkan linknya agar saya bisa mengupdatenya di halaman ini.

  1. http://www.hensba.co.cc/ > Hendri Bahrul Alam
  2. http://pridityo.blogspot.com/ > Himawan Pridityo
  3. http://prengqi.multiply.com/ > Ahmad Pranggono
  4. http://suyuk.blogspot.com/ > Soni Yoversen
  5. http://swanvri.wordpress.com/ > Swanvri 
  6. http://abinyahasan.wordpress.com > Ispiraini
  7. http://nurrohimyunus.blogspot.com/ > Nurohim Yunus
  8. http://albi4ever.blogspot.com/ > Hamdan Magribi
  9. http://handaries.wordpress.com  > Bowo
  10. http://heryazwan.wordpress.com/ > Hery Azwan
  11. Siapa selanjutnya ???

Jika teman-teman menjumpai kesalahan dalam penulisan nama diatas, silahkan untuk memberikan komentar agar saya bisa mengeditnya kembali.

thanks.

ahmad mulyadi , 26/2/2009

Kusempatkan aku menulis pikiran bercampur perasaan ku di ruang kebebasan yang selama ini sering tak terjamah dengan baik dan teratur.

Duh, rasanya rindu sekali bisa menghirup udara dan suasana negeri sendiri, kampung sendiri setelah sekian lama larut dalam rutinitas kerja yang garing bagaikan mesin.

Tapi untung ditengah-tengah geloranya nuansa kapitalisme dalam system kerja yang money oriented itu, masih kujumpai hari jum’at, karena pada saat itulah, aku bisa menikmati nuansa kemanusiaan. Aku bisa mendapatkan waktu lebih untuk mencuci baju dengan tenang dan masak sesuai kesukaanku.

Hidup dan bekerja di Saudi, dibutuhkan bukan saja kesabaran tapi juga kekuatan dan kecerdasan. Jika tidak cerdas dan berani, maka akan mudah dibodohi.

Aku sendiri awalnya minder karena tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Meski basically aku tahu bahasa arab, tapi bahasa arab yang dipakai disini lebih banyak gaya lokalitasnya.

Tapi alhamdulillah, bersama waktu, aku pun sedikit demi sedikit menyerap komunikasi mereka. Kesan yang saya tangkap adalah bahwa orang local disini menganggap bahwa berbicara keras dan lantang adalah hal lumrah saja. dan satu lagi, saya kerap mendengar kata “himar” yang berarti keledai. Kata “majnun” juga kerap muncul jika orang sini dalam kondisi marah. “Majnun” artinya gila. Tapi yang jelas, kata “inta himar” dan “inta majnun” adalah berkonotasi negative. Apakah offensive atau tidak, tergantung dalam situati dan hubungan apa kalimat itu digunakan.

Intinya, gaya komunikasi di sini banyak terjadi pelabelan terhadap orang lain. Personally saya tidak setuju karena bagi saya tidak kondusif dalam pergaulan sosial yang baik. Alhamdulillah meski saya hidup dalam lingkungan yang penuh dengan label-label negative, tapi saya bisa menjaga jarak dari budaya tersebut dan tetap dalam posisi saya bahwa label-label negative tidak baik kapanpun dan dimanapun.

Duh, rindunya jika saya bisa ketemu bayiku yang sempat saya gendong ketika dia berumur 1 bulan. Sekarang umurnya sudah satu tahun lebih dan dia sudah besar. Dia belum mengenali bapaknya, karena berada di negeri orang. Bapaknya sedang berkelana.

Kepada teman-teman blogger lain, saya senang sekali bisa bertukar pikiran, pengalaman dan unek-unek dengan sahabat semua. Semangat berdialog ini akan terus saya jalankan meski tak harus lewat blog.

Mungkin pada saat ini, aku akan menghilang sementara waktu dari dunia blog karena persoalan teknis saja. insyaAllah, jika memang ada kesempatan yang memungkinkan, saya senang sekali bisa melanjutkan pertukaran pikiran dengan sahabat semua.

Terima kasih atas segala komentarnya, semuanya layak untuk saya apresiasi dengan baik.

Terima kasih dan terima kasih.

Salam persahabatan.

Ahmad. Riyadh, Saudi Arabia.

2/8/2008

My wife said to me that she is envious when she witnesses the other couple of her neighbor caring their baby together as well as doing their errand. My wife said that she prefers to do the job together as her neighbor did. That is why, she always asks or even begs me to come back to Indonesia for sharing in family life. Yes she loves to get me living together with her and the lovely son.

Basically, I do want to have a life together with them but the situation simply hinder me to have such dream. I have to complete my two years job contract in Saudi Arabia. Besides, I have to earn some money here and sent it to support my family, my wife and lovely son. If I come back to Indonesia, I think it will be hard for me to get a job there, since the job opportunity is not always available especially that fits my skill. I my self do not know about my own special skill but I believe that everything can be done if I think that way.

To my wife, I said that it was not my intention to leave her and the baby. I went abroad (to saudi arabia) just to earn money with halal way. So my going was the matter about the love to the family. The intention was about how to rise the family. And the opportunity that time was going to saudi arabia as TKI. From the desert, i just scream in my deep down inside, I love you my baby, and the last but not least, I love you too my wife.

I told to my wife, that she had better feel proud of her self and I am really proud of her. It is no need to feel envious too much. I told her that she should take caring baby as a fun, so no feeling of burdern any more. I just hope that my wife can absorb my discussion with her through chatting.

Hingga saat ini, pengiriman TKW dari Indonesia masih terus bergulir dengan gelombang besar-besaran. Krisis ekonomi yang berlarut-larut telah memaksa banyak perempuan menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Dari sudut lain, pengiriman TKW ini terlanjur menjadi semacam jaringan bisnis yang kuat, terorganisir dan menghasilkan uang, sehingga tidak sedikit orang yang berlomba-lomba untuk “menjaring” dan “berburu” orang terutama perempuan untuk dijadikan TKW. Tak heran, meski banyak yang menentang, namun nyatanya bisnis ini kian menggurita saja.

Issue TKW ini tak akan pernah berhenti untuk dibincangkan, karena sangat berkelindan dengan isu hak asasi manusia yang tengah dan terus diperjuangkan.

Menyimak banyak pemberitaan tentang pahit getir kehidupan ‘pahlawan devisa’ ini, maka TKW selalu tak luput dari penganiayaan dan kekerasan, bahkan hingga detik ini.

Penganiayaan (kekerasan) terhadap TKW ini bisa mengambil bentuk kekerasan fisik, psikologis, atau seksual.

Kekerasan bersifat fisik misalnya memukul, membenturkan kepala, menampar, menendang, menjambak rambut, mencakar, dan kekerasan fisik lainnya yang menimbulkan cacat fisik pada pihak korban.

Adapun kekerasan yang bersifat psikologis adalah kekerasan yang sesungguhnya sistematis yang mengontrol pikiran dan prilaku korban. Misalnya saja mengisolasi korban sehingga tak bisa komunikasi dengan keluarganya, menyekap korban dalam suatu ruangan tanpa makan dan minum, mengancam akan membunuh korban jika si korban “membuka mulut”, memanggil korban dengan julukan yang menghinakan-degradasi (misalnya, hewan, anjing, pelacur, keledai, bodoh, pemalas, pembohong dan panggilan menjijikan lainnya).

Sementara kekerasan seksual adalah pemaksaan terhadap korban untuk melakukan kegiatan seksual. Misalnya saja, memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual dengan si pemaksa, atau disuruh berhubungan seks dengan binatang atau bahkan benda.

Dalam konteks TKW, kekerasan-kekerasan diatas acap menyerang mereka habis-habisan. Posisi mereka sebagai TKW acap potensial dan menjadi target empuk bagi terjadinya kekerasan dan penganiayaan.

Namanya juga domestic worker, para TKW itu terperangkap dalam ruangan tertutup sehingga sulit diketahui oleh publik. Tidak sedikit tkw yang mengalami kekerasan seksual oleh majikan laki-laki dipanggil pembohong dan pelacur ketika memberi tahukan kasus itu kepada majikan perempuan. Usaha dia untuk bersikap jujur pun ternyata diludahinya dan dinistakannya oleh sang majikan. Hati dan perasaan TKW begitu terlukai, begitu pedih dan perih.

Saya sendiri banyak mendapatkan informasi bahkan dari para tkw sendiri bahwa panggilan-panggilan seperti “inti hayawan” (kamu dasar hewan) tak jarang menyemburat dari mulut majikan saat mereka marah sama tkw. Acap kali, persoalan itu sengaja diciptakan dan diada-adakan untuk menghina dan menohok diri tkw. Jadi kalau dilihat, disana tergambar satu pihak yang bernafsu menunjukkan dominasinya terhadap pihak lain (baca : tkw) yang dianggap “nothing”. Pada tahap ini, tkw selalu pada posisi powerless, voiceless dan mudah ditekuk.

Pahit getir TKW ini ternyata belum terobati bahkan hingga detik ini. Bagaimana bisa terobati, perlindungan hukum bagi mereka masih sekadar basa-basi saja. Aturan sudah dibikin, tapi selalu saja dilanggar. Dan pelaku pelanggaran tak pernah ditindak secara tegas, bahkan terkesan dibiarkan.

Pengiriman TKW hingga saat ini terus bergelombang dengan jumlah yang terus bertambah. Banyak pihak-pihak yang memanfaatkan peluang ini. Tentu saja, motivasinya adalah profit. Maka muncullah “agen-agen” yang berkeliaran di kampung-kampung mencari mangsa untuk dijadikan tkw.

Jika permintaan besar, dan “stock” tkw sedikit, maka pihak “calo” bisa mematok harga yang besar untuk satu calon tkw. Tak heran, jika kemudian proses “iming-iming” pun diciptakan untuk mendapatkan surplus yang lebih. Disini terlihat jelas orientasi profit lebih kentara daripada perhatian terhadap keselamatan tkw itu sendiri. Ini artinya, devisa yang besar juga untuk pemasukan negara. TKW pun menjadi “mesin” devisa negara.

Ketika pemerintah hanya bisa mengambil profit dari TKW tanpa memberikan garansi keamanan bagi mereka, sesungguhnya pemerintah juga telah ikut berkontribusi pada penciptaan kekerasan secara struktural. Kekerasan bertubi-tubi terjadi terhadap TKW namun pemerintah masih termangu diam melihat borok sosial ini, barangkali bisa menjelaskan kekerasan struktural ini.

Teman saya dari srilangka bilang bahwa pengiriman tkw itu sama artinya dengan zina yang dilegalkan. Karena sesungguhnya, agama terutama islam melarang perempuan pergi tanpa mahram. Dalam konteks tkw, yang terjadi adalah tkw pergi “sendirian” tanpa mahram dan bekerja pada tempat yang bukan mahram. Kalau melihat dari kaca mata agama, jelas haram hukumnya. Tapi karena krisis ekonomi, yang haram-pun mengalami normalisasi sehingga terkesan halal-halal saja. Kadang saya berfikir, kenapa yang jadi pembantu itu selalu perempuan, kenapa tidak laki-laki yang secara biologis kuat?

Pada point ini, perempuan identik dengan pekerjaan domestik ini terlanjur terkonstruksi kuat dalam masyarakat. Sehingga, jika ada laki-laki yang bekerja pada wilayah domestik tidaklah cocok, dan artinya juga tak pantas bagi perempuan melakukan pekerjaan diwilayah publik. Paradigma ini sesungguhnya telah meminggirkan kiprah perempuan. Apakah paradigma semacam ini salah satu bentuk dari kekerasan struktural?

Selain dari Indonesia, TKW yang ada di saudi pun datang dari beberapa negara seperti Srilangka, Pilipina, Bangladesh, India, Nepal dan Negara-negara ketiga lainnya (baca : Negara ‘Miskin’). Namun, Indonesia paling banyak menempati posisi TKW. Posisi seperti pekerja salon, Perawat, Penjahit, ternyata cenderung didominasi oleh mereka yang punya kemampuan bahasa inggris. Dalam konteks ini, pekerja dari pilipina lebih dominan karena mereka punya kelebihan dari segi bahasa inggris. Ini tentu saja sangat terkait dengan pola pendidikan.

Pengalaman saya di Indonesia, jika ada orang yang ingin maju, selalu saja dicemooh. Misalnya saja ” alah, syok banget pake bahasa inggris”. Bahkan pada level-level tertentu, bahasa inggris itu dicuriagi karena dianggap bahasa orang kafir. Ini artinya, memang orang Indonesia menyukai kebodohan dan iri hati jika ada orang lain maju.

Saya punya pengalaman pribadi. Dalam sebuah taksi, saya bincang-bincang dengan sopir taksi dari bangladesh. Kebetulan supir tersebut pintar bahasa inggris. Saya pun menikmati obrolan dengan bahasa inggris. Ketika dia bertanya dari mana saya? Saya bilang, saya dari Indonesia. Dia langsung kaget, pasalnya dia mengira saya ini dari pilipina, karena bisa bahasa inggris. Dia terheran-heran bukan main ketika saya yang dari indonesia mencoba berkomunikasi dengan bahasa inggris. Dan supir itu sudah banyak makan garam hidup di saudi. Seumur hidup di saudi, dia baru menemukan orang Indonesia berbahasa inggris.

Nampaknya sudah terkonstruksi bahwa yang pandai bahasa inggris itu kebanyakan dari pilipina, dan sudah terkonstruksi pula bahwa TKW itu kebanyakan dari Indonesia. Opini publik ini kemudian membentuk suatu cara pandang bahwa yang mengurusi dapur itu cukup dari Indonesia saja, sementara untuk urusan yang lebih profesional, perlu tenaga dari pilipina. Saya pikir ini merugikan sekali.

TKW, bagaimanapun sangat potensial menjadi target kekerasan, karena posisinya lah yang membuat dia selalu subordinat dan submissive pada tuannya yang selalu berposisi diatas. Majikan mereka selalu memakai senjata “kamu tidak bisa mengontrol kehidupan kamu, karena yang menggaji kamu adalah aku, maka akulah yang harus mengontrol kamu’. Tkw pun akhrinya terpaksa harus menyerah pada keadaan. Tkw telah terperangkap dalam fantasi yang diciptakan majikannya, fantasi yang penuh nafsu, ambisi dan dominasi. Kontrol dan dominasi terhadap “ruang pribadi” tkw itulah yang sesungguhnya kekerasan.

Keledai adalah nama hewan yang pernah saya dengar dalam cerita-cerita. Lain kedelai, lain pula keledai. Yang pertama jenis kacang-kacangan dan yang kedua jenis hewan yang mirip kuda.

Dalam bahasa arab, keledai itu dinamakan himar. Sementara dalam bahasa inggris disebut donkey atau ass.

Keledai cukup terkenal karena punya daya tahan tinggi dan bervitalitas lumayan serta cukup bandel (stubborn). Oleh karena itu, sepanjang sejarah, ia sering dijadikan alat untuk mengangkut barang-barang. Selain itu, ia juga memiliki keunikan yakni ringkikannya yang cukup melengking (loud vocalization). Telinganya juga lebih panjang dari telinga kuda biasa. Oleh karena itu, ia diyakini mampu menangkap suara dari jarak yang jauh.

Namun anehnya, keledai ini kemudian masuk kedalam ranah pergaulan social dengan penekanan negative-nya setidaknya pengalaman yang saya alami di saudi. Ia berubah menjadi label-label dalam memanggil seseorang. “inta himar, la ta’arif ayya haajah” yang arti bebasnya ” kamu (itu) keledai, serba tidak tahu”. Dari sini, keledai itu diidentikan dengan kebodohan, tidak tahu apa-apa.

Ketika keledai sudah masuk kedalam label-label, maka ia menjadi ‘name-calling” atau panggilan yang berkonotasi negative. Maka, ia pun sudah masuk dalam kategori “verbal abuse”.

Saya melihat verbal abuse ini bahkan menjadi hal yang dilumrahkan. Tak jarang saya mendengar cerita dari teman-teman yang bekerja disini (Saudi) bahwa panggilan-panggilan yang tak sopan itu disemburatkan kepada mereka oleh majikannya. Bahkan ada anak yang dipanggil “hewan” oleh orang tuanya. Puih….saya hanya bisa mengelus dada.

Bukan saja disini, ketika di Bandung pun, tak jarang saya menjumpai gerombolan anak remaja yang memanggil kawannya dengan panggilan “anjing”. Yang dipanggil pun anehnya tidak marah dan memanggil temannya dengan panggilan yang sama. Saya pikir, wah, nampaknya anjing ini sudah menjadi budaya yang popular setidaknya dalam komunitas remaja gang dilevel perkampungan.

Dalam ajaran islam, penghinaan terhadap orang lain itu dilarang karena bisa jadi yang dihina itu lebih baik dari si penghina itu sendiri. Lihat surat al-hujurat ayat 11. [1]

Dari segi pendidikan, budaya name calling itu sangat berbahaya karena akan mempengaruhi kepribadian seseorang.

Any negative label or insult has the potential to hurt a child’s feelings.  Children who are frequently insulted by their siblings often remember the experience with pain even in adulthood. Children who have been insulted by their parents (i.e. being called “stupid,” “careless,” “sloppy,” bad” etc.) also often remember the pain throughout adulthood. [2]

(arti bebasnya : label-label negative atau penghinaan akan potensial melukai perasaan anak. Anak- anak yang acap dihina oleh saudaranya akan mengendapkan pengalaman pahit tersebut bahkan sampai dewasa. Anak-anak yang “dinistakan” orang tuanya (misalnya, dijuluki “bodoh”, “gegabah”, “kusut’, “jelek” dst) juga akan merekam peristiwa tersebut hingga dewasa.)

Bukan anak kecil saja, orang dewasa pun yang dipanggil dengan nama-nama yang hina dan tidak sopan, jelas akan murka dan marah.

Kembali lagi kepada pembahasan name calling ‘keledai” (bukan kedelai), maka sesungguhnya ia cermin dari budaya suatu komunitas. Jika “keledai” atau hewan-hewan lainnya dijadikan label untuk melabeli orang lain, maka perlu diajukan pertanyaan ” apa sih yang ada dalam batok orang yang menyamakan orang lain dengan keledai dan hewan?

Personally saya tidak setuju dengan label-label semacam itu. Jika anda menjumpai anak anda melakukan kesalahan, jangan lantas anda memanggilnya bodoh. Tapi jelaskanlah bahwa apa yang dia lakukan itu kurang tepat dan kemudian tunjukkan yang benar. Tapi jika anda memanggilnya “bodoh” atau “gak becus”, maka anda telah mematikan daya kreatifitasnya dan akhirnya menjadi penakut dan tak akan perna mencoba lagi. Hatinya telah terlukai. Ternyata name calling itu lebih tajam dan menusuk dari pedang.

Ini juga bisa menjelaskan kenapa di Saudi, banyak TKW yang kabur. Bisa jadi mereka tidak terbiasa dipanggil dengan label-label yang menghinakan. Mereka para tkw sudah kerja banting tulang, tapi pada akhirnya dipanggil bodoh bahkan dijuluki hewan. Siapa yang betah tinggal dalam rumah yang sarat hinaan.

Apakah mungkin memarahi seseorang tanpa menggunakan name calling? Tentu saja ada. Berikut ini petikan yang bagi saya cukup tegas :

“The first step is providing a model. This means that parents never call children names – they never use negative labels.  Many people wonder how it is possible to correct a child without using a negative label.  The secret is this: whenever you want to use a negative label to accurately describe a child’s behaviour (i.e. “rude”), replace the label with the exact opposite word. For example, instead of saying to Junior, “You are being rude,” you can say, “You need to be polite when speaking to me.”  Always use the desired label instead of the offensive label. In this way, your children hear only your target words (your goals for them) throughout their 20 years growing up with you. This helps programme their brains to remember your goals. Thus, you can hope that your children will turn out to be smart, considerate, prompt, honest, helpful, kind, creative, determined, patient and so forth.  However, they must HEAR those words consistently in order to steer themselves in that direction. If all they hear is stupid, lazy, selfish, wild…they will believe this is all that they’re capable of” [3]

Misalnya saja, anak anda kasar dan suka menyentak anda. Dari pada anda menjulukinya “si kasar”, maka lebih baik anda menggunakan ” kamu perlu bersikap sopan ketika berbicara dengan orang tuamu”. Pada point ini, anak anda akan tertuju pada target anda yakni bersikap sopan. Anda harus konsisten menggunakan cara ini, agar lama-lama bisa terbentuk karakter positif yang diinginkan terjadi pada anak anda. Anda pun harus menjadi model kearah sana.

Maka, budaya-budaya yang cenderung merendahkan reputasi orang lain perlu diganti dengan budaya konstruktive yang jelas-jelas membangun dan bukan mematikan. Label label seperti Keledai, anjing, hewan tidak baik untuk dienforced ketengah-tengah pergaulan sosial, karena hal itu bagian dari dehumanisasi. Dan itu menyalahi fitrah dan kesucian manusia.


[1] . O ye who believe! Let not a folk deride a folk who may be better than they (are), not let women (deride) women who may be better than they are; neither defame one another, nor insult one another by nicknames. Bad is the name of lewdness after faith. And whoso turneth not in repentance, such are evil-doers. (11), (surat ke 49 /alhujurat : 11)

[2] . http://www.parenting-advice.net/forum/advice/89-name_calling-0.html

Hijau

Posted on: May 2, 2008

Ketika melihat pemandangan hijau yang terhampar luas, saya pun dipenuhi rasa ‘kagum’ terhadap alam dan apalagi penciptanya. Menyaksikan pemandangan hijau terasa menyejukkan hati, apalagi jika dibumbui dengan angin segar sepoi-sepoi, serasa dunia ini bagaikan surga saja. Elok tenan!!!, itulah fantasi saya tentang hijau.

Betul, hijau itu identik dengan alam. Hijau juga adalah simbol keluguan dan kepolosan (innocence). Suatu keadaan yang belum terkontaminasi oleh ulah “tangan-tangan” yang belum tentu bersih.

Namun, tak bisa ditampik, dunia kini telah berubah dan berevolusi seiring dengan revolusi industri dan globalisasi. Hamparan pemandangan hijau itu pun kini terusik karena harus menghadapi tangan kekar bulldozer yang pongah dan sombong.

Saya menemukan bukti melalui blognya Bung Tasa, bahwa Produk bernama Dove [1] yang digandrungi banyak wanita Indonesia, ternyata menyimpan potret buram tentang bagaimana penggundulan hutan di Indonesia terjadi.

Penggundulan hutan secara tak bertanggung jawab tentu saja sangat kontributif dalam mereduksi keseimbangan alam. Erosi dan tanah longsor akan mudah terjadi. Banjir kini menjadi penyakit kronis dibeberapa kota di Indonesia terutama jika curah hujan tinggi sekali. Selain itu, hewan-hewan yang ada (baik langka atau tidak langka) akan segera punah, karena tak ada ruang bagi mereka untuk survive. Habitat mereka dimusnahkan. Tega sekali!!

Berikut ini, data-data yang saya ambil dari sumber lain:

“Selain curah hujan yang tinggi, semua hutan sudah gundul, mungkin yang tersisa hanya sekitar 200 meter dari jalan raya, di dalamnya sudah gundul seluruhnya. Yang tersisa kira-kira hanya 600-an hektare saja,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Soekarwo, Rabu (26/12). [2]

“Dalam 2 tahun belakangan ini, bencana banjir telah menerpa Aceh, Langkat, Riau, Palembang, Padang dan Bandung yang notabene kawasan yang dikelilingi hutan.” [3]

Berikut ini juga, saya menjumpai ekspresi dengan bahasa sunda dari seorang blogger yang tempat asalnya sering terkena banjir, nama tempat itu adalah dayeuh kolot.

“Taya nu anyar. Dayeuhkolot mah disebut dina suratkabar atanapi koran teh mung ukur dina warta banjir atawa macet. Lembur kuring teh emang meuni teu aya bosenna banjir jeung macet. Unggal taun, kudu wae banjir sakali atawa dua kali. Meuni getol pisan kanu banjir teh. Ari macet mah tong ditanya. Teu banjir oge, Dayeuhkolot mah tos macet!” [4]

Hutan-hutan hijau yang digunduli itu ternyata telah menyebabkan banjir dan kemudian merembet menjadi kemacetan. Kita semua pasti sebel dengan kemacetan itu, tapi kita pun perlu sadar, bahwa kemacetan itu tercipta karena ulah kita sendiri sebagai manusia yang ekploitative terhadap alam. Jika kita ingin lingkungah itu asri, gemah, ripah, hijau dan rindang, maka mari kita bersahabat dan apresiative terhadap alam, karena sesunggunya diri kita itu bagian dari alam itu sendiri.

Kita membutuhkan air bersih untuk diminum, udara yang segar untuk dihirup, kicau burung dan gemersik daun-daun yang indah untuk didengar, dan juga semilir angin sepoi-sepoi untuk mengipas-ngipasi tubuh dari sengatan panasnya mentari. Semua itu adalah sangat hijau dan alami sekali. Back to Nature!!!

Kini sudah menjadi fakta dan kita pun tahu bahwa produk Dove yang kita pakai ternyada sejarah prosesnya terkait dengan penggundulan hutan di Indonesia. Pada tahap ini, dimensi hukum untuk melindungi hutan perlu benar-benar dijalankan secara tegas dan bermartabat. Tidak sekadar reaksi-reaksi yang kemudian menghilang. Sebagaimana kejahatan lain, kejatahan dalam bentuk mengekploitasi alam secara habis-habisan perlu ditindak dengan tegas. Sangat tidak bijak jika kemudian pemerintah membiarkan bulldozer itu tetap berkeliaran.

If we think we can, we can. Jika kita berfikir bahwa dove itu bisa terus berjalan namun tetap bersahabat dengan alam, maka itu pun bisa. Alam pun akan kembali berseri, dan saya pun berikut generasi selanjutnya bisa menikmati hijau, menikmati alam dengan segala keluguan dan kepolosannya. Mari kita menaman meski pohon kecil dipipir rumah kita agar hasilnya bisa dirasakan oleh anak cucu kita, karena sayuran yang saya nikmati merupakan jerih nenek moyang saya. Let us preserve our traditional culture which is friendy to nature.

Back to nature, why not??

Ibadah adalah perbuatan baik, pun beramal adalah perbuatan yang shaleh. Namun keindahan ibadah dan amalan itu akan ambruk jika disusupi virus bernama riya.

Apa virus riya itu? Mari sejenak menganalisis apa yang dimaksud dengan term “riya”.

Dalam bahasa Arab, riya merupakan derivasi dari ra’a yang berarti melihat. Riya, dengan demikian, adalah sikap atau perbuatan merekayasa “sesuatu” agar bisa dilihat orang lain. Dalam bahasa arab, ra’yun adalah pendapat, ide, pikiran, persepsi. Dengan begitu, riya juga berarti tindakan merekaya sesuatu agar orang lain punya persepsi yang ingin diciptakan siperekayasa tersebut.

Seorang laki-laki yang tadinya jarang pergi ke masjid, tiba tiba rajin banget ke masjidnya. Ternyata di masjid tersebut, ada sosok perempuan cantik yang suka mengaji. Laki-laki tersebut rajin datang ke masjid bukan karena shalat berjamaah itu baik dan bagus, atau bukan karena pengajian itu secara intrinsik bagus, tapi berlandaskan keinginan agar perempuan tersebut melihatnya dan punya persepsi bahwa laki-laki tersebut anak shaleh karena getol shalat. Itulah persepsi yang ingin dibangun laki-laki tersebut.

Maka, shalatnya, ngajinya, dan rajinnya kemesjid tak punya nilai apa-apa karena hal itu bukan intrinsik baginya, yang intrinsik baginya adalah perhatian perempuan tersebut terhadapnya. Dan sesungguhnya, baik disadari atau tidak, itulah agama bagi dirinya. Tapi saya ingin juga mengatakan bahwa tidak semua orang yang rajin ke masjid, rajin ngaji, lantas identik dengan riya.

Dalam Islam, riya itu bahkan equal dengan syirik yang tersembunyi. Dikatakan tersembunyi (hidden), karena ia pandai sekali menyelinap dalam ruang ketidak sadaran kita.

Seorang imam shalat memperbagus suaranya dan memanjangkan bacaan dalam shalatnya, diluar kesadarannya, terselip sebuah fantasi agar orang-orang dibelakangnya punya persepsi bahwa sang imam banyak hapalannya, atau suaranya bagus. Fantasi akan pujian dari orang lain itulah yang bernama riya. Sekali lagi, tidak lantas semua imam yang memanjangkan bacaan adalah riya.

Menurut yang saya pahami, syirik adalah menduakan Tuhan dalam beribadah. Syirik bisa dikatakan pengkhiatan cinta terhadap tuhan. Syirik berarti upaya menciptakan tuhan-tuhan baru. Inilah yang barangkali kemudian menjelaskan bahwa Tuhan pun ternyata pencemburu.

Apa yang akan anda dan kita rasakan jika kekasih anda/kita mengkhianati cinta anda/kita? Tentu saja akan segera muncul rasa terkhianati, kecewa.

Pada tahap ini, saya bisa mengatakan bahwa ibadah adalah juga cinta. Ibadah adalah totalitas. Ibadah adalah kepatuhan, yakni patuh dan tunduk pada nilai-nilai intrinsik ibadah itu sendiri.

Dalam pemahaman saya, shalat adalah ibadah, puasa juga ibadah, zakat pun ibadah. Tapi amalan shaleh pun bisa berbalik menjadi amalan salah jika niat atau intensi nya salah. Oleh karena itu, konsep niat dalam beribadah sangat memegang peranan penting.

Jika saya boleh mengatakan, niat itu mirip software. Ibadah ritual adalah hardwarenya. Shalat adalah hardware dari sebuah ibadah. Jika ibadah itu dijalankan oleh sofware yang mengandung virus riya, maka sistem pun akan menjadi down, lumpuh dan tak berkutik alias error. Ibadahnya mengalami cacat.

Dalam agama, anonim dari riya adalah ikhlas dan tulus. Bekerja dan beribadah dengan tulus berarti bekerja dan beribadah tanpa mengharapkan “imbalan” atau “pujian” dari luar. Dicemooh atau dipuji, kebaikan itu harus tetap kita jalankan secara konsisten.

Maka, hardware bernama ibadah pun jika dipasang software keikhlasan maka semua sistem akan berjalan mulus lancar. Tapi jika dipasang sofware virus riya, ibadah pun tak lagi bermakna.

Jika ingin berbuat baik, berbuat baiklah, baik ada pujian atau tidak. Andai saja pujian itu tak pernah ada, masihkah kita mau beramal dengan baik?

Konsep riya sesungguhnya mencerminkan suatu sudut persepsi lain bahwa keberagamaan yang ritual formal akan terasa hambar dan tak punya rasa seni jika tidak dihiasi dengan akhlak yang baik.

Pakaian yang kita pakai, mobil yang kita kendarai, emas yang kita miliki, adalah baju luar saja tentang identitas kita. Semua itu adalah identitas semu dan temporer. Siapa sih diri kita sebenarnya? Jika mobil yang kita miliki itu bukan diri kita yang sebenarnya, jika bacaan yang dipanjang-panjangkan dalam shalat itu bukan identitas murni kita, kenapa kita begitu tergoda untuk mengelabui orang agar melihat diri kita sebagai kaya dan alim.

Ternyata virus itu bernama riya…virus yang menggerogoti. Personally, saya pun melihat tulisan saya sebagai cambuk agar hati-hati dengan makhluk halus bernama riya.

Hidup ini hanya satu kali, maka gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Tapi haruskan amal baik itu hanya karena ada surga dan neraka? Barangkali itulah apa yang saya pikirkan ketika berhadapan dengan apa yang disebut dengan eskatologi, sesuatu yang berkatian dengan berakhirnya kehidupan ini.

Dalam pikiran sederhana saya, eskatologi itu adalah hari kiamat, titik ujung dari kehidupan ini. Pembicaraan eskatologi lebih memfokuskan diri pada dimensi akhirat, kehidupan di alam baka.

Untuk mengetahui apa itu eskatologi, saya ingin mengutip pengertian dari beberapa sumber. Menurut wikipedia, eskatologi (inggrisnya : eschatology ), adalah :

Eschatology (from the Greek σχατος, Eschatos meaning “last” and -logy meaning “the study of”) is a part of theology and philosophy concerned with the final events in the history of the world, or the ultimate destiny of humanity, commonly referred to as the end of the world [1]

Sementara menurut kamus online merriam webster, eskatologi adalah :

  1. a branch of theology concerned with the final events in the history of the world or of humankind
  2. a belief concerning death, the end of the world, or the ultimate destiny of humankind; specifically : any of various Christian doctrines concerning the Second Coming, the resurrection of the dead, or the Last Judgment [2]

Dengan demikian, eskatologi (eschatology) merupakan studi yang merupakan bagian dari kajian teologi dan filsafat yang berkaitan dengan kejadian final dari sejarah kehidupan ini. Singkatnya, kiamat dan akhirat sebagai fokus pembicaraan.

Saya pun berfikir, jika berbicara akhirat, maka disana akan ada yang disebut surga dan neraka. Surga adalah tempat bagi orang-orang yang berbuat shaleh dan neraka adalah tempat orang-orang yang berbuat salah. Itulah yang ada dalam fikiran saya.

Namun demikian, semua itu ada dalam rahasia Ilahi.

Tapi jika melihat dari aspek eskatologi, memang ada orang yang beribadah dan beramal berdasarkan fantasi dia akan akhirat, yakni mengharapkan surga dan takut neraka. Ibadahnya semata-mata karena mengharap surga. Saya bisa berandai-andai jika surga dan neraka tidak ada, maka masihkah manusia mau beribadah dan beramal?

Pada point inilah, persoalan akan berkembang. Level keberagamaan seseorang pun muncul menjadi wacana. Jadi, ada ibadah yang pamrih dan ibadah yang tulus.

Menarik sekali membaca tulisan kang jalal mengenai keberagamaan seseorang. Berikut ini kutipannya : “Wajah publik adalah penampilan yang ia tampakkan di hadapan umum sedangkan wajah privat adalah penampilan yang ia tampakkan di lingkungan yang terbatas. Bila ia salat di depan orang banyak (di hadapan publik), salatnya amat rajin sementara ketika ia salat sendirian (di lingkungan privat), salatnya menjadi malas. Contoh lain adalah seseorang yang selalu melakukan salat sunat di masjid tetapi selalu meninggalkannya ketika ia di rumah. Orang tersebut akan menambah amalnya bila di hadapan orang banyak dan mengurangi amalnya bila ia sendirian. Ketika di hadapan orang banyak, ia akan sangat memperhatikan waktu salat sementara di rumahnya, ia jarang salat tepat waktu” [3]

Bisa jadi, orang yang beribadah dengan penekanan yang berbeda pada dua wajah (private dan public), sangat terinspirasi oleh khayalan akan semangat eskatologis dalam dirinya. Ia melakukan amal baik bukan karena kesadaran utuh bahwa amal baik itu sangat inherent dan instrinsik tapi melihatnya sebagai kewajiban saja.

Lalu bagaimana dengan orang yang rela membiarkan dirinya mati dalam aksi bom bunuh diri (suicide bombing) hanya karena keyakinan bahwa ia akan mendapatkan bidadari yang selalu jelita di surga?

Pikiran sederhana saya berkata bahwa mereka telah terbuai oleh kenikmatan eskatologis di akhirat nanti. Dimata mereka, tindakan bom bunuh diri itu adalah jihad yang jika mati, maka matinya adalah syahid. Pada tahap ini, saya memiliki pikiran yang terus berkecamuk, kenapa jika ingin mendapatkan surga harus membunuh diri dan membunuh orang lain yang tak bersalah. Jika eskatologi tentang surga dan neraka itu ada, maka alangkah baiknya hidup yang satu kali ini dipergunakan sebaik-baiknya untuk memanusiakan manusia, tapi dengan kesadaran bahwa amal baik itu memang natural dan intrinsik, terbebas dari fantasi eskatologis. Gimana menurut anda?

Saya tahu bahwa surga dan neraka itu didekati dengan pendekatan keimanan, tapi apakah saya harus beramal baik karena mengharap surga dan takut neraka? atau apakah perbuatan baik itu dilakukan dengan kesadaran bahwa itu misi intrinsik manusia dalam bergaul dengan alam dan manusia lainnya? Jika neraka dan surga tiada, masihkah kita mau beramal dan beribadah? saya pikir ini persoalan yang sangat mendasar dalam meniti jembatan kehidupan ini, yang ada titik pangkal dan titik ujungnya.